ERA EKONOMI KOMPETISI
_Ilmu hikmah_
Wayan Supadno
Mari kita simak kejadian di lapangan yang keseharian bisa kita saksikan sendiri. Lalu kita buat hipotesa. Diambil ilmu hikmahnya. Untuk pembelajaran. Bekal menatap masa depan yang lebih kompetitif lagi.
Alat berat. Beberapa tahun silam jika kita melihat proyek yang melibatkan alat berat misal Bulldozer, Excavator, Loader dan lainya. Sangat sulit menjumpai produk dari RRC. Sekarang makin didominasi produk dari RRC.
Alasannya klasik yaitu harganya jauh lebih murah. Hingga setara dengan 55% dibanding pesaingnya. Pangsa pasarnya makin membesar. Harganya miliaran rupiah per unit. Triliunan omzet per tahun direbut RRC dari Jepang dan Barat.
Mesin pabrik dan elektronik. Sama juga justru ini makin merambah ke masyarakat luas hingga refleks ingat merek dagangnya. Sebabnya sama juga, harganya lebih murah dan tampilannya lebih menarik.
Gula. Impor kita makin besar hingga 5,3 juta ton/tahun. Padahal tahun 1930-an, Nusantara juara 2 dunia produsen gula. Harga gula impor 60% dari gula produksi dalam negeri. Karena harga pokok produksi (HPP) nya lebih murah.
HPP kumulatif murah hanya Rp 4.000/kg gula. Di kita Rp 8.000/kg. Karena mereka menerapkan ekonomi sirkular nol limbah. Gula produk samping dari alkohol/bioethanol, bumbu makanan, pakan ternak dan pupuk.
Beras. Sama juga jika kran impor dibuka petani langsung panik karena " kalah telak " harganya. Karena padi di luar negeri bukan hanya diambil beras saja. Tapi juga minyak bekatul, Vitamin B12 kulit ari bahan baku industri makanan bayi dan lainnya.
Daging sapi dan kerbau. Apalagi ini makin seolah angkat tangan menyerah kalah. Hingga depopulasi penyusutan populasi sapi. Impor dari sumber yang sama saja kita lebih mahal dari Singapura dan Malaysia saat sampai masyarakat. Karena terlalu banyak " rente ".
Kesimpulan dari data fakta di atas. Memberikan gambaran bahwa HPP semua produk kita terlalu tinggi. Belum banyak menerapkan ekonomi sirkular dan kebanyakan rente. Yang jadi korban adalah " rakyat ", beban biaya hidup mahal.
Padahal saat daya beli pendapatan per kapita masih rendah dari mereka. Konkretnya pendapatan per kapita Singapura 16 kali Indonesia dan Malaysia 3 kali Indonesia. Implikasinya biaya pangan mahal. Boros sekali.
Ilmu hikmahnya, ada indikasi banyak bahan baku berlimpah status limbah sampah yang belum kita angkat jadi komoditas " langka " agar mahal. Karena belum menerapkan ekonomi sirkular. Diekspor jadi bahan baku industri memperkaya negara lain.
Solusinya, dilahirkan kebijakan yang " pajak tinggi " jika diekspor sebagai bahan baku di luar negeri. Yang membuat industri di dalam negeri dapat banyak kemudahan. Terpenting melahirkan industriawan inovatif agar tidak impor pengusaha luar negeri sebagai investor (PMA).
Obyek riset harus mengarah pada ekonomi sirkular memberdayakan yang berlimpah. Agar hasil riset (invensi) nya marketable. Bermanfaat. Jika 10.000 penelitian indeks Rp 1 miliar, setara Rp 10 triliun/tahun jika tidak jadi inovasi membumi on market.
Bisa kita bayangkan borosnya jika selama 20 tahun setara Rp 200 triliun. Jika hanya 12% yang dihilirisasikan agar jadi inovasi. Masih ada 88% tersimpan di lemari multi sebabnya. Betapa borosnya APBN kita karena ini. Kasihan rakyat jelata pembayar pajak.
Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630
Komentar
Posting Komentar